top of page

Vol.17 | Pemerintah Memberlakukan Insentif Pajak Kendaraan Listrik, Akankah Kebijakan yang Diambil Sudah Efektif?

Riyan Wahyu Setiawan

28 Juli 2023

0

Pada 1 April 2023, pemerintah resmi memberlakukan PMK No. 38 tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023 . Peraturan ini memuat insentif pajak PPN DTP yang diberikan pemerintah untuk mendorong masyarakat beralih ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Menurut kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu, kebijakan terkait insentif pajak tersebut merupakan bentuk strategi pemerintah untuk menarik investasi dalam ekosistem kendaraan listrik dan mengurangi emisi. Dalam kebijakan ini, pemberian insentif ditujukan terhadap KBL berbasis baterai roda empat tertentu dan/atau KBL berbasis baterai bus tertentu berupa PPN terutang ditanggung pemerintah. Pemerintah akan menanggung PPN atas KBL berbasis baterai roda empat dan bus tertentu sampai dengan 10% dari harga jual sehingga masyarakat hanya perlu menanggung PPN sebesar 1%.

Secara umum, pemberlakuan kebijakan tersebut merupakan salah satu bentuk fungsi alokasi untuk mengurangi pemborosan sumber daya. Berlakunya kebijakan ini secara tidak langsung mendorong Indonesia untuk melakukan improvement teknologi, padahal menurut studi yang ada (Soejachmoen, 2016), Indonesia masih berada pada fase lagging global automotive production network. Hambatan tersebut diperkuat dengan penelitian oleh Agus Syarip (2021) menunjukkan bahwa sektor komponen otomotif Indonesia masih rendah dan menunjukkan comparative disadvantage. Dalam penelitian tersebut ditemukan Indonesia memiliki tantangan untuk melakukan reformasi teknologi, yakni rendahnya skill tenaga kerja lokal. Masalah tersebut dapat berdampak pada isu sosial di mana Indonesia harus mengambil tenaga kerja asing untuk menangani permasalahan pembaruan teknologi.

Melalui laporan Asian Development Bank, Indonesia memiliki risiko terkait investor dan ketidakmampuan untuk melakukan pengembangan teknologi, seperti listrik dan baterai. Sementara itu, untuk memaksimalkan potensi kendaraan listrik diperlukan pondasi pembangkit listrik yang kuat dengan energi yang ramah lingkungan. Pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan mineral komponen baterai, seperti lithium, nikel, kobalt, dan mangan yang dapat mengakibatkan eksploitasi pertambangan terhadap bahan mineral tersebut. Diperlukan rangkaian tindakan untuk mengelola limbah baterai tersebut nantinya, mengingat limbah baterai tersebut masuk ke dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Langkah kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada proses bisnis yang terjadi, tetapi juga fokus terkait dampak dari proses bisnis yang dilakukan.

Tidak semua masyarakat Indonesia mendukung atas kebijakan pemerintah untuk menggunakan KBL berbasis baterai. Data dari Future of Mobility Solution Centre, Deloitte (2021), menunjukkan sebesar 77% masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor bertenaga petrol atau diesel untuk memudahkan mereka melakukan kegiatan komuter, melakukan perjalanan jauh dengan mobilisasi yang cepat. Kegiatan komuter yang cepat tidak dapat diakomodasi oleh sistem yang dimiliki KBL berbasis baterai karena memerlukan timecost untuk pengisian daya. Tentunya fakta tersebut menunjukkan inefisiensi pemerintah untuk melakukan dorongan pembelian kendaraan bermotor berbasis listrik dan baterai. Selain itu, berdasarkan fakta di lapangan, per Agustus 2021, Indonesia sudah memiliki 1.465.000 kendaraan berbasis listrik, tetapi di sisi lain Indonesia hanya memiliki 148 unit stasiun pengisian daya listrik kendaraan tersebut. Secara kasar, terdapat 1:9.899 stasiun pengisian daya kendaraan listrik yang ada. Apabila Indonesia masih bertahan di angka tersebut, kebijakan untuk pembelian kendaraan berbasis listrik tersebut justru akan berakibat kelangkaan tempat pengisian daya.

Menelisik lebih lanjut, harga kendaraan berbasis listrik di Indonesia sangat berbanding terbalik dengan pendapatan per kapita Indonesia. Berdasarkan data The Association of Indonesia Automotive Industry (GAIKINDO), harga kendaraan berbasis listrik paling murah ialah mobil bermerk Wuling Air Ev, dengan kisaran harga 200 juta rupiah. Sementara itu, berdasarkan data BPS (2022), pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2022 ialah 71 juta rupiah, atau 5,9 juta rupiah per bulannya. Pendapatan per kapita hanya bisa merepresentasikan sebagian kecil pendapatan penduduk Indonesia, mengingat pendapatan UMR di wilayah Indonesia banyak yang berada di bawah kisaran tersebut. Future of Mobility Solution Centre, Deloitte (2021), menunjukkan data bahwa hanya 13% masyarakat Indonesia yang bersedia untuk membeli KBL berbasis baterai dengan harga di atas rata-rata harga mobil biasa. Dibutuhkan motivasi yang tinggi sebagai upaya penyelamatan lingkungan untuk membeli kendaraan berbasis listrik tersebut, sebagaimana terdapat penelitian yang dilakukan oleh Lowy Institute pada 2021 yang menyatakan bahwa hanya 36% responden dari masyarakat Indonesia yang menyatakan bahwa pemanasan global merupakan permasalahan yang serius.

Pengalihan pemakaian kendaraan bermotor listrik dan baterai harus diimbangi oleh adanya tingginya pengetahuan dan pendidikan masyarakat sehingga mereka mengetahui urgensi terkait teknologi kendaraan bermotor listrik dan memunculkan willingness to purchase EVs. Bahkan, menurut penelitian, Meilinda et al (2021) di UK masih terjadi lack knowledge yang menyebabkan misconceptions terhadap kendaraan berbasis listrik dan baterai ini. Jika dibandingkan dengan Indonesia, maka sangat memungkinkan hal tersebut terjadi di Indonesia. Dengan minimnya pengetahuan terkait kendaraan tersebut akan berimplikasi pada rendahnya willingness to purchase kendaraan listrik.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap faktor eksternal dan internal masyarakat Indonesia untuk sadar terkait permasalahan lingkungan, setelah itu pemerintah dapat mengejawantahkannya melalui salah satu kebijakan berupa insentif pajak atas kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia terkait bahaya isu lingkungan sangat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah untuk mendorong pemakaian kendaraan bermotor berbasis listrik dan baterai yang digunakan secara masif oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut tidak sesuai dengan implementasi fungsi alokasi sebagaimana tercantum dalam UU â„–17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Apabila terus dilanjutkan, masyarakat akan menganggap bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan masyarakat golongan menengah ke atas dan para pengusaha sehingga esensi dari kontraprestasi pajak dan fungsi alokasi hanya dirasakan oleh segelintir kalangan saja.

Disayangkan, padahal terdapat alternatif lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi emisi dengan melakukan insentif pajak terhadap kendaraan bermotor listrik dan baterai. Alternatif lain berupa pemakaian EV yang diimplementasikan pada kendaraan umum. Pemberian insentif atau pemakaian EV pada kendaraan umum akan lebih mengoptimalkan peran lingkungan dan sosial di dalamnya. Pemerintah seharusnya sadar bahwa upaya meningkatkan pembelian EV justru akan menimbulkan masalah baru, seperti masalahan pengelolaan dan bahkan memperparah kemacetan. Sebagai bentuk solusi alternatif, penggunaan EV pada kendaraan umum akan meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum dan meremajakan kendaraan umum yang sudah tidak layak pakai. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan fasilitas dan sarana prasarana pendukung kendaraan umum sehingga masyarakat terdorong untuk beralih menggunakan kendaraan umum. Indonesia perlu memikirkan proses jangka panjang dari penerapan kebijakan PMK â„–38 Tahun 2023 ini sebagai bentuk transformasi energi bukan hanya sebagai business as usual.


Referensi

Asrul Ibrahim Nur dan Andrian Dwi. (2021). Proyeksi Masa Depan Kendaraan Listrik di Indonesia: Analisis Perspektif Regulasi dan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim yang Berkelanjutan. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia,, 7, 197–220.

Deloitte. (2021). Full Speed Ahead Supercharging Electric Mobility in Southest Asia.

Gaikindo. (2023). Mobil Listrik di RI Terjual 2.803 Unit, Wuling Air ev Paling Laris. gaikindo.or.id. https://www.gaikindo.or.id/mobil-listrik-di-ri-terjual-2-803-unit-wuling-air-ev-paling-laris/

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2023). Siaran Pers Bersama: Akselerasi Transformasi Ekonomi, Pemerintah Luncurkan Insentif Pembelian KBLBB Roda Empat dan Bus Per 1 April 2023. kemenperin.go.id. https://kemenperin.go.id/artikel/23955/Siaran-Pers-Bersama:-Akselerasi Transformasi-E konomi,-Pemerintah-Luncurkan-Insentif-Pembelian-KBLBB-Roda-Empat-dan-Bus-Per- 1-April-2023

Krystyna Gomolka. (2021). Directions and Prospects for the Development of the Electric Car Market in Selected ASEAN Countries. Energies, 14(14).

Meilinda Fitriani Nur Maghfiro, Andante Hadi Pandyaswargo. (2021). Current Readiness Status of Electric Vehicles in Indonesia: Multistakeholder Perceptions. Suistainability, 13.

Siwage Dharma Negara and Agus Syarip Hidayat. (2021). Indonesia’s Automotive Industry Recent Trends and Challenges. Journal of Southeast Asian Economies, 38.


Full PDF version can be accessed here

bottom of page